Beratnya Orang Tua Melepas Anak Ke Pondok Pesantren, untuk Kebaikan Dunia Akhirat
Beratnya Orang Tua Melepas Anak Ke Pondok Pesantren, untuk Kebaikan Dunia Akhirat - Tidak banyak orang tua yang mau memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren. Namun, saat ini pesantren lagi cukup meningkat peminatnya, hal ini juga dikarenakan karena para orang tua sudah menyadari akan pentingya pendidikan agama Islam.
Saat mengantarkan anak ke Pesantren, banyak orang tua yang seperti tidak rela meninggalkan anaknya sendirian. Sampai tidak menyadari, kalau air mata sudah mengalir jatuh. Menangis karena akan meninggalkan anaknya di Pesantren.
Nah, berikut ada sebuah kisah yang diangkat diangkat dari sebuah kisah nyata, sebuah kisah yang mengandung hikmah dari sebuah cinta orang tua. Sebuah kisah mengenai cinta ibu pada sang anak.
Kami sebagai orang tua yang tidak banyak waktu di rumah dan merasa ilmu agama kami masih sedikit. Ingin memondokkan anak selepas SD, anak-anak sudah mulai remaja, yang akan sangat riskan terhadap lingkungan dan teman-temannya.
Akhirnya kami bicara pada anak kami, kalau lulus SD dia akan kami pondokkan. Raut mukanya ketakutan dan seketika menolak dengan alasan akan kangen dengan rumah, tidak suka banyak teman, tidak bisa main hape, dan lain-lain. Tapi tekad kami sudah bulat, tidak bisa ditawar lagi. Tujuannya agar kelak dia bisa jadi imam keluarga yang sholeh dan membawa keluarganya selamat dunia akhirat.
Silahkan Baca : Usaha Keras Ibunya membuat Maariya Berhasil Menghafal Al Qur'an dalam Waktu 2 Tahun
Kelulusan SD datang juga, artinya kami akan segera mengantar anak kami ke pondok pesantren. Jarak dari rumah ke pondok sekitar 24km. Sesampainya di pondok, proses demi proses kami lalui. Semua serba istimewa di mata kami, baju seragam yang serba putih, terlihat bersih dan suci tidak ketinggalan berpeci dan bersarung. Baju harian memakai sarung tidak boleh memakai celana pendek.
Dzuhur, kami salat berjama’ah bersama calon santri, dan smua pengurus pondok pesantren. Suasana khidmat dan sunyi begitu menyentuh hati. Selesai shalat dzuhur dilangsungkan akad, janji santri. Satu persatu calon santri dipanggil untuk akad di depan kepala pondok pesantren. Di iringi shalawat nabi yang tiada putusnya, rasa di hati tidak karuan, terharu, sedih, dan bangga jadi satu. Jantung seolah berdegup lebih kencang. tanpa terasa air mata menetes tanpa bisa dibendung.
Nama anak kami disebut, didampingi sang ayah menuju ke kepala pondok, perasaan dan suasana seperti ini baru kami rasakan. Suara isak tangis di antara kami para orang tua menambah syahdu suasana, yang sudah akad saling pelukan dan air mata semakin deras.
Selesai akad kami diarahkan masuk kamar atau tempat pondok. Kami merapikan tempat tidur, dan menyusun baju di lemari. Tangan terasa lemas saat kami berkemas, suasana akad masih terbawa sampai di kamar. Tiada suara obrolan diantara kami, padahal saat itu kamar begitu penuh, karena semua pengantar ingin ikut masuk kamar. Setelah tempat tidur dan baju-baju rapi, kami keluar dari kamar, bersiap untuk pulang. Saat kami berpamitan pulang, lidah ini semakin kelu rasanya dan air mata keluar lagi semakin deras. Kami harus berpisah sekarang juga dari anak kami.
Tapi semua demi masa depan yang lebih baik, kami rela, dan ikhlas berpisah dengan anak kami. Pesan yang sangat melekat saat prosesi akad tadi oleh kepala pondok pesantren :
"Melepas anak ke pondok seperti mengantar ke pemakaman. Kita harus ikhlas anak belajar disini. Kami tidak akan mengajarkan yang tidak baik, insyaa Allah. Selepas bapak Ibu dari sini, mungkin banyak santri yang bisa langsung adaptasi. Santri menemukan dunia baru, teman baru, suasana baru. Justru mereka akan lebih nyaman karena banyak teman yang senasib. Jauh dari keluarga, tapi sebaliknya dengan bapak Ibu, akan merasa sangat kehilangan, maka saya pesan, ikhlaskan anak bapak ibu untuk kami ajar disini. Kami juga mendoakan supaya calon santri betah, justru kebanyakan anak yang gagal di pondok, dikarenakan faktor dari rumah, bisa dari ayah, ibu, ataupun adik, atau kakaknya."
Sesampainya di rumah, kami masih tidak banyak bicara. Kami merasakan ada yang hilang, persis seperti ucapan kepala pondok pesantren, apalagi saat kami masuk kamar akan tidur. Suasana kehilangan makin terasa, biasanya saya teriak-teriak menyuruh anak-anak tidur, menyuruh berhenti bercanda karena sering kelewatan jadi bertengkar. Adiknya pun yang seringkali jarang akur dengan kakaknya, saat sudah di kamar tidur, tiba-tiba ada suara isakan dibalik guling yang dipeluknya.
Silahkan Baca : Orang Dewasa masih duduk-duduk Dibelakang, Adik ini sudah Menempati Shaf Pertama
"Mama... adik ingat mas, kasihan masnya tidurnya tidak pake AC, tidurnya gimana Ma? suara tangisannya semakin kencang, saya dan suami berusaha menghiburnya."
"Adik.. mas disana kan belajar, biar jadi anak yang sholeh dan temannya juga kan sama. Di rumah biasa pakai AC, disana tidak, adik doakan saja, mas betah," hibur suami. Sedangkan saya tidak banyak bicara, karena kerongkongan terasa kering. Hanya saya peluk saja biar bisa tidur, dan tidak teringat kakaknya..
Akhirnya tertidur karena lelah menangis, melihat dia sudah tidur. Saya ikutan rebahan, tiba-tiba pipi basah, air mata saling menyusul keluar menyusuri pipi. Terbayang juga saat mau tidur, selalu minta ditemani oleh papanya, lampu tidak boleh dimatikan.
"Sedang apa dia ya, apa bisa tidur dengan suasana ramai, batin saya."
Akhirnya saya bawa berwudlu agar hati tenang dan mendoakan anak yang sedang jihad di jalan Allah, melawan ego, menahan rasa kangen, jauh dari gadget dan sebagainya.
Seminggu berselang, namun suasana rumah kami belum banyak berubah. Setiap akan makan dan akan tidur, merupakan saat-saat yang paling merasa kehilangan. Kami terbiasa makan bersama kala sore hari. Hidup seminggu setelah anak masuk pondok pesantren, rasanya luar biasa.
Tapi kami jadi lebih tekun beribadah, rutin shalat malam, mengingat disana dia juga melakukan shalat malam, sebagai kewajiban. Jadi kala bangun untuk shalat malam, saya seoalah menemaninya.
"Mas. ayo bangun, mama juga bangun nih, yuk kita shalat malam, kamu di Pondok bersama teman-teman Mama salat di rumah."
Silahkan Baca : Harusnya Remaja sekarang kembali Belajar dari Kisah Nabi Yusuf
Selalu begitu yang terucap saat saya akan melakukan aktifitas yang sekiranya anak saya di Pondok juga melakukan hal yang sama.
Hari minggu saya niatkan menengok ke Pondok, sengaja saya sendiri naik motor. Kalau kami berangkat semua, takut dia jadi teringat rumah dan ingin pulang.
Sesampai di pondok, walau bukan jadwal resmi berkunjung. Tapi kami boleh ketemu. Hanya di pos satpam. Tidak boleh masuk ke dalam Pondok Pesantren, apalagi sampai ke kamar. Jantung berdegup kencang dan lidah kelu. Mata panas menahan air mata, saya tidak boleh menitikkan air mata kesedihan sedikitpun di depan anak yang sedang jihad.
Datanglah anak saya berlarian kecil, dia salam dan menyapa.
"Assalamu’alaikum ma.... mama datang sama siapa? tanya anak saya sambil mencium tangan saya."
"Walaikumsalam... mama datang sendiri, papa kerja, adik sengaja tidak mama ajak, entar tidur di motor."
"Anak saya tersenyum mendengar penjelasan itu. Seeerrrr..... dada, entah rasa apa saya tidak bisa menggambarkan, yang jelas saya lebih tegar, ikhlas, dan bahagia. Melihat anak sudah kelihatan ada perubahan walau baru satu minggu.
Dia bercerita, hari pertama, habis sarapan, para santri pergi memancing di kolam belakang pondok pesantren, ada juga yang main sepak bola, futsal atau voli. Hari pertama masih belum ada KBM (kegiatan belajar mengajar).
Subhanallah.... benar kata Kepala Pondok Pesantren waktu itu, dia langsung betah, walaupun agak sedikit kurus, tapi wajahnya keliahatan bersih, dan bersinar. Memakai sarungnya pun sudah luwes, saya smakin yakin ini tidak salah langkah..
Katanya walau awalnya berat, tidur dengan lampu dimatikan, makan harus dengan sayur, tapi satu minggu ini sudah biasa katanya.
"Sekarang mas doyan sayur Ma dan bisa bangun pagi," katanya girang.
Lagi-lagi tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata perasaan yang saya alami. Tidak lama kami bertemu, sekitar setengah jam, karena dia sendiri yang meminta saya pulang. Katanya kasihan adik ditinggal lama. Akhirnya saya pun pulang dengan lega, bangga, puas, dan masih banyak lagi. Tak dapat tergambarkan kecuali bahagia ibarat surga begitu dekat dengan mata.
"Bapak ibu para orang tua antarkan anak-anak kita ke Pondok. Jika bapak dan ibu mengharapkan surga."
"Seperti dawuh kyai, kog ono anak gelem mondok iku podo karo daftarke surga bapak ibunya."
MasyaaAllah, sebuah kisah yang menyentuh, bagaimana perasaan orang tua yang telah melahirkan, merawatnya, dan setiap hari semua panca indra tertuju pada anak. Kemudian memasukkan anak ke Pesantren dan kemudian meninggalkannya. Perasaan kosong dan hampa pasti akan dirasakan oleh orang tua.
Bukan hanya ke Pondok Pesantren sebenarnya, tapi melepaskan anak kerja di luar kota atau melepaskan anak untuk sekolah di luar kota juga akan merasakan hal yang sama. Sedangkan perasaan anak gimana? saya rasa tidak semua akan seperti yang orang tua rasakan.
Silahkan Baca : Ayah Bunda Tolong Bawa Aku ke Surga
Karena kalau anak sudah menemukan teman akrabnya, orang tua akan sedikit terlupakan. Lebih condong bersama teman-temannya. Iya atau ya? buat kamu yang sekarang sedang kuliah jauh dari orang tua? hehehe..
Teringat orang tua ketika akhir bulan, atau awal bulan, itupun menanyakan uang kirimannya sudah dikirim apa belum. Maka sebagai anak, usahakan, telpon atau sms orang tua. Meskipun cuma sebentar, saya yakin jika itu akan menghilangkan rasa cemasnya. Ok!
Saat mengantarkan anak ke Pesantren, banyak orang tua yang seperti tidak rela meninggalkan anaknya sendirian. Sampai tidak menyadari, kalau air mata sudah mengalir jatuh. Menangis karena akan meninggalkan anaknya di Pesantren.
Nah, berikut ada sebuah kisah yang diangkat diangkat dari sebuah kisah nyata, sebuah kisah yang mengandung hikmah dari sebuah cinta orang tua. Sebuah kisah mengenai cinta ibu pada sang anak.
Kami sebagai orang tua yang tidak banyak waktu di rumah dan merasa ilmu agama kami masih sedikit. Ingin memondokkan anak selepas SD, anak-anak sudah mulai remaja, yang akan sangat riskan terhadap lingkungan dan teman-temannya.
Akhirnya kami bicara pada anak kami, kalau lulus SD dia akan kami pondokkan. Raut mukanya ketakutan dan seketika menolak dengan alasan akan kangen dengan rumah, tidak suka banyak teman, tidak bisa main hape, dan lain-lain. Tapi tekad kami sudah bulat, tidak bisa ditawar lagi. Tujuannya agar kelak dia bisa jadi imam keluarga yang sholeh dan membawa keluarganya selamat dunia akhirat.
Silahkan Baca : Usaha Keras Ibunya membuat Maariya Berhasil Menghafal Al Qur'an dalam Waktu 2 Tahun
Kelulusan SD datang juga, artinya kami akan segera mengantar anak kami ke pondok pesantren. Jarak dari rumah ke pondok sekitar 24km. Sesampainya di pondok, proses demi proses kami lalui. Semua serba istimewa di mata kami, baju seragam yang serba putih, terlihat bersih dan suci tidak ketinggalan berpeci dan bersarung. Baju harian memakai sarung tidak boleh memakai celana pendek.
Dzuhur, kami salat berjama’ah bersama calon santri, dan smua pengurus pondok pesantren. Suasana khidmat dan sunyi begitu menyentuh hati. Selesai shalat dzuhur dilangsungkan akad, janji santri. Satu persatu calon santri dipanggil untuk akad di depan kepala pondok pesantren. Di iringi shalawat nabi yang tiada putusnya, rasa di hati tidak karuan, terharu, sedih, dan bangga jadi satu. Jantung seolah berdegup lebih kencang. tanpa terasa air mata menetes tanpa bisa dibendung.
Nama anak kami disebut, didampingi sang ayah menuju ke kepala pondok, perasaan dan suasana seperti ini baru kami rasakan. Suara isak tangis di antara kami para orang tua menambah syahdu suasana, yang sudah akad saling pelukan dan air mata semakin deras.
Selesai akad kami diarahkan masuk kamar atau tempat pondok. Kami merapikan tempat tidur, dan menyusun baju di lemari. Tangan terasa lemas saat kami berkemas, suasana akad masih terbawa sampai di kamar. Tiada suara obrolan diantara kami, padahal saat itu kamar begitu penuh, karena semua pengantar ingin ikut masuk kamar. Setelah tempat tidur dan baju-baju rapi, kami keluar dari kamar, bersiap untuk pulang. Saat kami berpamitan pulang, lidah ini semakin kelu rasanya dan air mata keluar lagi semakin deras. Kami harus berpisah sekarang juga dari anak kami.
Tapi semua demi masa depan yang lebih baik, kami rela, dan ikhlas berpisah dengan anak kami. Pesan yang sangat melekat saat prosesi akad tadi oleh kepala pondok pesantren :
"Melepas anak ke pondok seperti mengantar ke pemakaman. Kita harus ikhlas anak belajar disini. Kami tidak akan mengajarkan yang tidak baik, insyaa Allah. Selepas bapak Ibu dari sini, mungkin banyak santri yang bisa langsung adaptasi. Santri menemukan dunia baru, teman baru, suasana baru. Justru mereka akan lebih nyaman karena banyak teman yang senasib. Jauh dari keluarga, tapi sebaliknya dengan bapak Ibu, akan merasa sangat kehilangan, maka saya pesan, ikhlaskan anak bapak ibu untuk kami ajar disini. Kami juga mendoakan supaya calon santri betah, justru kebanyakan anak yang gagal di pondok, dikarenakan faktor dari rumah, bisa dari ayah, ibu, ataupun adik, atau kakaknya."
Sesampainya di rumah, kami masih tidak banyak bicara. Kami merasakan ada yang hilang, persis seperti ucapan kepala pondok pesantren, apalagi saat kami masuk kamar akan tidur. Suasana kehilangan makin terasa, biasanya saya teriak-teriak menyuruh anak-anak tidur, menyuruh berhenti bercanda karena sering kelewatan jadi bertengkar. Adiknya pun yang seringkali jarang akur dengan kakaknya, saat sudah di kamar tidur, tiba-tiba ada suara isakan dibalik guling yang dipeluknya.
Silahkan Baca : Orang Dewasa masih duduk-duduk Dibelakang, Adik ini sudah Menempati Shaf Pertama
"Mama... adik ingat mas, kasihan masnya tidurnya tidak pake AC, tidurnya gimana Ma? suara tangisannya semakin kencang, saya dan suami berusaha menghiburnya."
"Adik.. mas disana kan belajar, biar jadi anak yang sholeh dan temannya juga kan sama. Di rumah biasa pakai AC, disana tidak, adik doakan saja, mas betah," hibur suami. Sedangkan saya tidak banyak bicara, karena kerongkongan terasa kering. Hanya saya peluk saja biar bisa tidur, dan tidak teringat kakaknya..
Akhirnya tertidur karena lelah menangis, melihat dia sudah tidur. Saya ikutan rebahan, tiba-tiba pipi basah, air mata saling menyusul keluar menyusuri pipi. Terbayang juga saat mau tidur, selalu minta ditemani oleh papanya, lampu tidak boleh dimatikan.
"Sedang apa dia ya, apa bisa tidur dengan suasana ramai, batin saya."
Akhirnya saya bawa berwudlu agar hati tenang dan mendoakan anak yang sedang jihad di jalan Allah, melawan ego, menahan rasa kangen, jauh dari gadget dan sebagainya.
Seminggu berselang, namun suasana rumah kami belum banyak berubah. Setiap akan makan dan akan tidur, merupakan saat-saat yang paling merasa kehilangan. Kami terbiasa makan bersama kala sore hari. Hidup seminggu setelah anak masuk pondok pesantren, rasanya luar biasa.
Tapi kami jadi lebih tekun beribadah, rutin shalat malam, mengingat disana dia juga melakukan shalat malam, sebagai kewajiban. Jadi kala bangun untuk shalat malam, saya seoalah menemaninya.
"Mas. ayo bangun, mama juga bangun nih, yuk kita shalat malam, kamu di Pondok bersama teman-teman Mama salat di rumah."
Silahkan Baca : Harusnya Remaja sekarang kembali Belajar dari Kisah Nabi Yusuf
Selalu begitu yang terucap saat saya akan melakukan aktifitas yang sekiranya anak saya di Pondok juga melakukan hal yang sama.
Hari minggu saya niatkan menengok ke Pondok, sengaja saya sendiri naik motor. Kalau kami berangkat semua, takut dia jadi teringat rumah dan ingin pulang.
Sesampai di pondok, walau bukan jadwal resmi berkunjung. Tapi kami boleh ketemu. Hanya di pos satpam. Tidak boleh masuk ke dalam Pondok Pesantren, apalagi sampai ke kamar. Jantung berdegup kencang dan lidah kelu. Mata panas menahan air mata, saya tidak boleh menitikkan air mata kesedihan sedikitpun di depan anak yang sedang jihad.
Datanglah anak saya berlarian kecil, dia salam dan menyapa.
"Assalamu’alaikum ma.... mama datang sama siapa? tanya anak saya sambil mencium tangan saya."
"Walaikumsalam... mama datang sendiri, papa kerja, adik sengaja tidak mama ajak, entar tidur di motor."
"Anak saya tersenyum mendengar penjelasan itu. Seeerrrr..... dada, entah rasa apa saya tidak bisa menggambarkan, yang jelas saya lebih tegar, ikhlas, dan bahagia. Melihat anak sudah kelihatan ada perubahan walau baru satu minggu.
Dia bercerita, hari pertama, habis sarapan, para santri pergi memancing di kolam belakang pondok pesantren, ada juga yang main sepak bola, futsal atau voli. Hari pertama masih belum ada KBM (kegiatan belajar mengajar).
Subhanallah.... benar kata Kepala Pondok Pesantren waktu itu, dia langsung betah, walaupun agak sedikit kurus, tapi wajahnya keliahatan bersih, dan bersinar. Memakai sarungnya pun sudah luwes, saya smakin yakin ini tidak salah langkah..
Katanya walau awalnya berat, tidur dengan lampu dimatikan, makan harus dengan sayur, tapi satu minggu ini sudah biasa katanya.
"Sekarang mas doyan sayur Ma dan bisa bangun pagi," katanya girang.
Lagi-lagi tidak dapat saya lukiskan dengan kata-kata perasaan yang saya alami. Tidak lama kami bertemu, sekitar setengah jam, karena dia sendiri yang meminta saya pulang. Katanya kasihan adik ditinggal lama. Akhirnya saya pun pulang dengan lega, bangga, puas, dan masih banyak lagi. Tak dapat tergambarkan kecuali bahagia ibarat surga begitu dekat dengan mata.
"Bapak ibu para orang tua antarkan anak-anak kita ke Pondok. Jika bapak dan ibu mengharapkan surga."
"Seperti dawuh kyai, kog ono anak gelem mondok iku podo karo daftarke surga bapak ibunya."
MasyaaAllah, sebuah kisah yang menyentuh, bagaimana perasaan orang tua yang telah melahirkan, merawatnya, dan setiap hari semua panca indra tertuju pada anak. Kemudian memasukkan anak ke Pesantren dan kemudian meninggalkannya. Perasaan kosong dan hampa pasti akan dirasakan oleh orang tua.
Bukan hanya ke Pondok Pesantren sebenarnya, tapi melepaskan anak kerja di luar kota atau melepaskan anak untuk sekolah di luar kota juga akan merasakan hal yang sama. Sedangkan perasaan anak gimana? saya rasa tidak semua akan seperti yang orang tua rasakan.
Silahkan Baca : Ayah Bunda Tolong Bawa Aku ke Surga
Karena kalau anak sudah menemukan teman akrabnya, orang tua akan sedikit terlupakan. Lebih condong bersama teman-temannya. Iya atau ya? buat kamu yang sekarang sedang kuliah jauh dari orang tua? hehehe..
Teringat orang tua ketika akhir bulan, atau awal bulan, itupun menanyakan uang kirimannya sudah dikirim apa belum. Maka sebagai anak, usahakan, telpon atau sms orang tua. Meskipun cuma sebentar, saya yakin jika itu akan menghilangkan rasa cemasnya. Ok!
Pustaka :
Fanspage DailyMotivationOfficial
Doa kami, Semoga rezeki berlimpah untuk pembaca atmosferku hari ini. Aamiin