Bisa Jadi Kamu Mencintai Sesuatu walaupun Itu Buruk Bagimu
Seperti yang
telah dikatakan di bahasan awal, Allah menyatakan dalam surat al-Baqarah ayat
216 bahwa keadaan tertentu yang bagi kita tampaknya buruk bisa saja menjadi
baik. Begitu pula, seperti yang ditunjukkan ayat tersebut, Allah pun menyatakan
bahwa apa yang dicintai seseorang adalah buruk baginya. Di dalam Al-Qur`an,
Allah memberikan contoh orang-orang kafir yang kaya, yang tidak ingin
menggunakan kekayaannya, karena menurut mereka lebih baik menghemat. Anggapan
mereka bahwa menimbun kekayaan dan tidak menggunakannya di jalan Allah bisa
memberi manfaat adalah benar-benar suatu kebodohan. Di dalam Al-Qur`an, Allah
menyatakan bahwa kekayaan seperti itu adalah buruk dan hanya akan membawa
kesengsaraan di neraka.
“Sekali-kali janganlah orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan
di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali
Imran: 180)
Di dalam surat
al-Qashash, Allah mengisahkan tentang Qarun. Allah telah melimpahkan
keberuntungan yang besar kepada Qarun, tetapi ia menjadi sombong karena
kekayaannya yang terus bertambah. Ia mulai tidak berterima kasih kepada
Tuhannya. Kisah Qarun yang akhirnya dibinasakan Allah karena ia tetap tidak memerhatikan
peringatan-peringatan Allah ini adalah pelajaran yang baik untuk manusia. Kisah
ini disebutkan di dalam Al-Qur`an,
“Sesungguhnya, Qarun adalah
termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya,
‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri.’ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan. Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku hanya diberi harta itu,
karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya,
dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada
orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” (al-Qashash:
76-78)
Dalam ayat di
atas, Qarun menganggap bahwa harta kekayaannya akan membawa kebaikan bagi
dirinya. Karena itu, ia bersukaria dan sombong. Pada akhirnya, ia mengalami
kekecewaan berat.
Sebaliknya,
orang-orang beriman menghargai harta kekayaan mereka. Ini sangat berbeda dengan
pemahaman Qarun yang cacat. Bagi mukmin yang taat kepada ajaran Al-Qur`an,
harta kekayaan tidaklah terlalu berarti. Seorang mukmin selalu menjadikan
dirinya mulia. Ia tidak akan pernah membiarkan dirinya memuja harta atau
menjadikannya sebagai tujuan dan ambisinya karena hal itu adalah perbuatan yang
bodoh. Seorang mukmin mengabdikan dirinya hanya demi keridhaan Allah dan ia
tidak pernah membiarkan dirinya diperbudak oleh nafsu dirinya yang rendah.
Cita-citanya adalah untuk menggapai balasan abadi di akhirat, bukan di dunia
ini. Allah membalas orang-orang yang beriman dengan derajat yang tinggi dalam
pandangan-Nya dan Ia menjanjikan surga untuknya.
“Sesungguhnya, Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan
Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan, dan itulah
kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 111)
Menyadari
kenyataan ini, para nabi, rasul, dan mukmin sejati menganggap apa yang mereka
miliki sebagai sebuah berkah dari Tuhan mereka. Mereka menanamkan dalam hati
mereka bahwa semua yang mereka miliki adalah milik Allah. Karena itu, mereka
menggunakan segala milik mereka, termasuk kekayaan, karena Allah. Akhlaq mulia
dan kasih di antara kaum mukminin ini dijelaskan dalam ayat,
“... (Mereka yang benar-benar
beriman adalah mereka yang) memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang yang meminta-minta....” (al-Baqarah:
177)
Lebih jauh lagi,
seorang mukmin tidak berbuat demikian untuk berpura-pura saja. Niat ikhlas
mereka dalam menggunakan kekayaan disebutkan dalam ayat,
“... orang-orang yang
membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka....”
(al-Baqarah: 265)
Karena itu,
ketika mereka kehilangan sebagian harta kekayaan, reaksinya sangat berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Pada dasarnya, mereka
tahu bahwa apa yang terjadi adalah ujian dari Allah. Mereka menunjukkan
kesabaran dan mencari kebaikan dalam apa yang ada di balik kehilangan itu.
Pandangan mulia orang-orang yang beriman disebutkan dalam ayat,
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang
memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Mahakuasa atas segala
sesuatu.”
(Ali Imran: 26)
Karena itulah,
orang-orang beriman tahu benar bahwa kekayaan yang dimuliakan oleh orang-orang
kafir di dunia ini hanya akan membawa kesengsaraan bagi mereka, bukannya
kebaikan. Ini adalah janji Allah.
“Maka janganlah harta benda dan
anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya, Allah menghendaki dengan
(memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan
di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan
kafir.” (at-Taubah: 55)
Penulis: Harun Yahya, Seeing Good in All, Senayan Abadi Publishing
Penulis: Harun Yahya, Seeing Good in All, Senayan Abadi Publishing