Atmosferku.com - Artikel kali ini akan sedikit lebih panjang, karena mencakup banyak gagasan dan semoga dengan solusinya tentang menyikapi gejolak yang sedang terjadi di Negeri ini. Semoga pembaca tidak bosan, dan saya memohon untuk membaca denga hati yang lapang dan pikiran yang luas bukan liar. Serta sediakan air putih. Selamat membaca dengan riang!
|
Ilustrasi dari Buletin LP |
Sudah satu tahun lamanya saya kenal dengan komunitas Likuran Paseduluran yang basecampnya berada di Karanganyar. Sebuah komunitas yang menurut saya unik, kenapa unik? karena komunitas ini mempersilahkan siapa saja untuk bergabung dan bertukar pendapat dengan bebas namun tetap terkontrol. Entah orang yang tatoan, yang suka dijalan, yang tua, yang muda, yang apapun. Dikomunitas ini kita tidak membedakan backgroundnya, tidak membedakan bentuk fisiknya, tidak membedakan pekerjaannya, tidak membedakan ketrampilannya, namun yang penting mau berpikir dan berbagi pendapat.
Sabtu (26/11), mumpung malam itu terang benderang seperti sebuah firasat bahwa Tuhan mempersilahkan bagi saya untuk datang dan hadir diacara komunitas Likuran Paseduluran. Biasanya saya selalu menolak, karena acara selalu berlangsung malam dan saya sangat lemah dengan kondisi udara dingin. Namun entah kenapa malam itu, seperti ada dorongan yang begitu kuat untuk datang. Wallahu a'lam..
Malam itu, pertemuan Likuran Paseduluran mempunyai tema yang cukup berat. Sebuah pokok pembahasan yang sedang hangat-hangatnya sekarang terjadi. Tema malam itu adalah Angrem Pakarti. Membahas tentang hiruk pikuk permasalahan di Negara yang tongkat batu bisa jadi tanaman ini, Indonesia. Hiruk pikuk saat ini ibarat kata hanyalah sebuah petasan dengan daya ledak sedang. Kemudian dengan memasukkan berbagai kemungkinan-kemungkinan masyarakat Indonesia berfokus pada pada daya ledaknya dan kerusakannya saja. Bukan pada siapa pembuat petasan itu. Pengandaian ini begitu cocok dan sangat tepat menggambarkan kemana arah berpikir masyarakat, kita sering melihat siapa yang menyalakan petasannya berarti dia yang disalahkan. Dengan berbagai pengandaian, penulusuran, hanya sampai pada pedagang penjual petasannya, bukan pembuatnya.
Baca Juga
Permasalahan terbaru yang sedang hangat dikalangan masyarakat, sebenarnya bukan dikalangan masyarakat namun di jagad media sosial saat ini soal gejolak di negeri ini. Menurut Likuran Paseduluran peristiwa tersebut merupakan akibat dari benturan peradaban yang orang-orangnya memiliki prinsip, nilai dan ketertarikan yang berseberangan.
Maka dari itu, mari sejenak kita instrospeksi diri. Melihat dan menilai mulai dari diri sendiri dan kemudian orang lain dari berbagai sudut padat pandang. Mulai nyicil untuk berbuat baik kepada lingkungan dan sesama. Angrem atau berdiam diri untuk membenahi budi pekerti kita. Bukan berarti berdiam untuk menghindar, melainkan berdiam untuk dalam rangka mempersiapkan kekuatan dan energi. Bukan untuk mempersiapkan peperangan, namun untuk siap dalam keadaan apapun.
Malam itu obrolan begitu hangat, begitu santai, penuh dengan aroma kekeluargaan. Gelak tawa bersama, seperti tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Padahal yang hadir dalam Likuran Paseduluran malam itu, saya yakin, mereka satu sama lain punya perbedaan yang signifikan. Namun, bukan tertuju pada perbedaan, tapi tertuju pada kebersamaan, saling menghormati dalam berpendapat.
Saya ingatkan lagi, bahwa dalam artikel ini. Saya tidak ada maksud menyinggung ormas atau tokoh perseorangan. Namun, disini kita sama-sama berpikir tentang kondisi yang saat ini, mencoba mengajak khalayak untuk berpikir luas bukan berpikir liar. Bukan berpikir pada permasalahan, namun pada pokok permasalahan untuk sebuah solusi bersama. Tidak bermaksud menggurui dan sok pintar, hanya menyampaikan sebuah unek-unek, dimana ilalang liar pun punya hak untuk hidup dan bernafas dimanapun ada tanah yang tersirami hujan dari Sang Khalik asalkan sesuai dengan dayanya tanpa melebihkan.
UMAT ISLAM DIJADIKAN GELANDANGAN DINEGERINYA SENDIRI
Sub Bab yang sangat menarik sekali, bagaimana bisa mengatakan umat islam dijadikan gelandangan dinegerinya sendiri? jangan langsung emosi saat membacanya, jangan langsung berpikir negatif. Mari kita bahas. Sub Bab ini dikutip dari tulisan di Buletin/LP/Edisi XIII/ Angrem Pakarti.
Saat ini, dengan kondisi yang sedang melanda. NKRI bukan akan dihancurkan melainkan akan dimakmurkan, namun bukan untuk raksyat Indonesia. Kenapa begitu? sekarang kita menyaksikan pergulatan dan bagaimana tata kelolanya bahwa kedaulatan politik, bangunan konstitusi, pasal-pasal hukum, tanah dan modal, alat-alat produksi, serta berbagai perangkat kehidupan dan penghidupan tidak lagi berada ditangan kedaulatan bangsa Indonesia meskipun kamuflasenya menyuarakan untuk rakyat. Rakyat Indonesia tetap dikasih makan dan ikut mencicipi sedikit kemakmuran, asalkan rela menjadi pembantu rumah tangga, karyawan, kuli, khadam dan jongos yang setia serta patuh pada penguasa baru NKRI, yang merupakan kongsi dari Dua Adidaya dunia.
Baca Juga
Sukar dihindari melalui penglihatan bahwa yang paling sengsara diantara bangsa dan rakyat Indonesia adalah Ummat Islam, karena mereka didera dua penjajahan. Disamping paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga desain untuk mendevadilitasi Islam dikalangan pemeluknya. Ini berposisi sebagai cara atau strategi penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan utnuk memaksimalkan deislamisasi kehidupan Bangsa Indonesia. Sebuah statement unik, bahwa NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam, artinya boleh menjadi Negara Agama selain Islam.
Bahkan kaum muslimin dicuci otaknya secara nasional untuk mempercayai bahwa demokrasi tetap gagal selama pemimpin nasionalnya berasal dari mayoritas. Demokrasi tercapai sempurna kalau pucuk pimpinannya adalah tokoh minoritas. Kalau mayoritas itu artinya diktator atau intoleran. sedangkan kalau minoritas itu demokrasi dan toleran. Jika ummat islam dibunuh, itu melawan radikalisme da fasisme. Kehancuran Islam adalah tegaknya keadilan dunia dan berkibarnya demokrasi. Kalau kaum muslimin menolaknya dituduh rasis dan pelaku SARA. Ummat Islam dipaksa untuk menerima kehendak kekuasaan, dan kalau menolak mereka disebut memaksaka kehendak. Ummat Islam diinjak, kalau bereaksi dituduh tidak toleran, anarkis dan radikal.
Apakah kita merasakan kondisi yang demikian? jika tidak merasakan, mungkin kita sudah tercuci otaknya. Melihat dengan mata yang fana, dengan sebuah skenario yang rapi bahwa kita sendiri (ummat islam) disetting sebagai garis keras, penghianat, teroris, bahkan berpakaian yang Islami saja dikatakan itu bukan budaya Indonesia, melainkan Arab. Mungkin begitu, ketika dua wasiat Rasulullah Saw,. telah kita lupakan yakni Al Qur'an dan Hadits.(Baca Juga : Suara Alqur'an Dapat Sembuhkan Penyakit)
PENJAJAHAN CARA BERPIKIR STRUKTURAL
Saya pun sangat setuju dengan pembahasan bahwa sekarang bangsa Indonesia sedang mengalami penjajahan cara berpikir yang struktural, yang sudah dibuat bertahun-tahun. Namun, kita tidak pernah menyadari bahkan malah merasakan kenikmatan mengalami penjajahan.
Penjajahan atas masyarakat Indonesia dimana Ummat Islam merupakan mayoritas dari bangsa Indonesia di Negara Indonesia. Telah berlangsung sangat lama dengan bentuk yang sangat beragam disegala bidang. Penjajahan itu berlangsung secara sistematis, strategis, dan menusuk hingga ruang privat dalam jangka waktu yang sangat lama. Bentuk-bentuk penjajahan itu sangat terstruktur mulai dari pondasi dasarnya yakni cara berpikir.
Pada tanggal 28 Oktober lalu, koran Jakarta merilis wawancara dengan Dr. Manu W. PadmadipuraWangsawikrama (Beliau adalah ahli filologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta) yang cukup membuka wawasan yang bisa menyadarkan kita. Dari wawancara tersebut, kita bisa memahami gambaran penjajahan cara berpikir dari wujud bahasa Indonesia yang mengadopsi tata bahasa struktural. Menurut Cak Nun, bahwa Bahasa Indonesia sejatinya diambil dari bahasa Melayu Pasar yang tumbuh dalam kultur perdagangan di nusantara.
Kita ambil contoh, di Jawa, untuk menyebut beras saja ada beberapa istilah. Seperti pari, gabah, beras, menir yang masing-masing menandakan hubungan-hubungan yang berbeda pada diri manusia dan alam. Dan disinilah letak miskinnya bahasa Melayu Pasar. Belum lagi jika membahas etika, moral, peradaban, kebudayaan, diplomasi politik, ideologi, bangunan, sosial, dan seterusnya.
Sisi rasa bahasa perlahan hilang ketika kolonial menerapkan pendidikan dengan sistem kelas hingga seperti sekarang yang kita rasakan. Pola pikir struktural yang ditanamkan kepada generasi ke generasi utamanya melalui sistem pendidikan.
Baca Juga
Seperti warga seputaran Merapi, mereka memahami jika gunung bergejolak hingga menyebarkan keberkahan melalui lahar dan wedhus gembel-nya, mereka mengatakan Merapi sedang punya hajatan. Sedangkan manusia modern dengan cara berpikirnya menyebut hajatan Merapi sebagai bencana. Ini menarik, ketika bahasa bumi pertiwi yang mampu mengartikan hal positif menjadi hal yang negatif dengan pola bahasa modern.
Melalui Pendidikan juga, intelektualitas rakyat Indonesia dan Ummat Islam dimanipulasi dengan dogma-dogma sekuler. Awalnya Tuhan dipisahkan dari Ilmu Pengetahuan, kemudian juga dilakukan pelemahan-pelemahan cara berpikir yang diperkuat oleh media, khususnya televisi melalui tayangan-tayangannya. Pembodohan demi pembodohan secara gencar dilakukan.
Meskipun penjajahan secara fisik sudah berakhir 71 tahun silam, namun penjajahan itu masih berlagsung hingga hari ini. Karena penjajahan atas rakyat dan Ummat Islam Indonesia yang terjadi selama ini secara mendasar berawal dari perubahan cara berpikir, maka peperangan panjang juga dihadapi mulai dari sana. peperangan yang memerlukan nafas dan jurus yang panjang pula, juga memerlukan kesiapan mental dan kesadaran bahwa ini sebuah peperangan yang panjang.
Saat berdiskusi dengan mereka di Komunitas Likuran Paseduluran, saya terkesan dengan salah seorang peserta yang hadir. Ia bertatto, pernah bekerja di hingar-bingarnya malam hari Jakarta. Namun, dia mengeluarkan statement bahwa Ia memiliki anak, dan tidak ingin anaknya menonton pembodohan-pembodohan yang dilakukan televisi seperti saat ini. Ia lebih baik mengeluarkan uang 100 ribu, agar bisa untuk menonton acara yang lebih berbobot. Bukan acara yang membodohi rakyat, entah kenapa KPI berdiam diri dengan kondisi dunia perfilman saat ini. Dimana percintaan anak-anak dijadikan sebuah acara televisi, memperkenalkan pacaran yang menjurus seks bebas, pergaulan-pergaulan yang sangat tidak bernilai agama, sifat-sifat alay menjadikan terkenal, menjual lekuk tubuh untuk cepat mendapatkan uang, dan masih banyak lagi acara televisi yang harusnya dihentikan. Namun, KPI seperti tidak mampu mengeluarkan tajinya.
Selain itu kita juga perlu mempertanyakan pendidikan saat ini, dimana perubahan kurikulum selalu dilakukan. Dari sistemnya, seperti perlahan menghilangkan bahasa Bumi Pertiwi dari sekolah.
Di daerah saya, yang harusnya sangat kental dengan bahasa krama, sama sekali sudah tidak terlihat dari tutur kata anak-anak. Dulu, ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, selalu menggunakan bahasa Krama yang tutur katanya lebih halus dan sopan. Namun, perlahan sekarang mengalami kepunahan. Selain pendidikan seperti berusaha menghilangkan bahasa Bumi Pertiwi, sistem pendidikan juga mulai menjauhkan kedekatan anak dengan keluarga dan juga lingkungan. Kalau kita tahu, bahwa dalam Islam sangat menganjurkan kedekatan dengan Keluarga, bahkan madrasah terbaik adalah berada di keluarga. Sungguh semakin miris tatanan pendidikan yang saat ini, anak-anak benar-benar dieksploitasi pemikirannya, moralnya, juga hidupnya hanya karena sebuah manipulasi keinginan agar menciptakan generasi cerdas. Jika melihat kondisi, hal ini hanya seperti sebuah penghargaan cara kerja, atau secara gamblang ingin terlihat berkerja. Entahlah.. yang jelas, bagi siapa yang masih peduli dengan bahasa Bumi Pertiwi, ajarkan pada anak-anaknya. Dengan tatacara yang baik.
Kita sendiri lah yang saat ini harus bergerak sampai akar untuk mengerti diri kita sendiri. Kalau sudah tidak ada lagi yang peduli dengan akarnya, kita selamanya akan impor gagasan tentang dunia ini dari Barat. Mereka yang merumuskan, membuat dan menjual secara eceran kepada kita. Dan kita hanya menjadi konsumen gagasan dan produk turunan dari mereka. Kalau identitas saja tidak punya, bagaimana mau mempunyai tujuan??
SUMBER HUKUM ATAU ALAT PENGHUKUM
Pada masa abad pertengahan, hukum Islam (syariat) banyak sekali digunakan untuk melakukan penghukuman bagi siapa saja yang melanggar syariat. Seperti hukum cambuk bagi yang berzina, potong tangan bagi pencuri, dll. Semua itu dilakukan untuk menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Banyak orang Muslim yang menganggap syariat adalah sumber keimanan. Kemudian sampai ada yang menggagas, jika mayoritas penduduknya muslim, harus diubah menjadi negara Islam, dalam hal ini syariat memegang posisi yang penting.
Keinginan muslim untuk memberlakukan syariat ini sebagai tantangan sekulerisme modern yang mengkerdilkan moralitas pribadi dan umum. Perdebatan perihal syariat ini tidak akan habis, karena sekulerisme akan terus memborbardir agar syariat tidak bisa tegak berdiri dengan kokoh. Dengan mengusung asas demokrasi, mulai negara-negara penganur sekuler mulai memberikan dogma dengan bahasa demokrasi dan HAM. Kita tahu, sekarang semua berkata HAM dan Demokrasi, meskipun hal tersebut untuk menunjuk sebuah kelompok sekuler untuk mampu berdiri tegak sebagai penguasa. Karena jika syariat berdiri tegak, negara sekuler tidak akan mampu menguasai apa yang menjadi kehormatan NKRI yakni kekayaan alamnya. Sampai semua bisa diekspoitasi habis, sekuler akan terus memberikan dogma-dogma negarif tentang syariat.
Baca Juga
Lihatlah hukum sekarang, di NKRI hukum hanya dijadikan sebagai alat penghukum saja bukan menjadi sumber hukum. Yang namanya alat, bisa digunakan siapa saja, dan dipegang siapa saja. So, siapa penguasanya, ia yang akan mampu menggunakan hukum untuk mengatur apa saja yang menjadi keinginannya, termasuk mengkerdilkan hukum syariat yang benar-benar menjadi sumber hukum tatanan kehidupan.
Dari sini, kita dapat mempelajari bahwa Hukum Islam menyediakan kumpulan konsep, prinsip, serta nilai. Hukum Islam mengatur tentang kewajiban seorang muslim kepada Allah seperti syahadat, shalat, puasa, dan berhaji. Serta kewajiban sosial seperti zakat, persausaraan (paseduluran), silaturahmi. Begitu juga pada transaksi sosial seperti perdagangan, pernikahan, warisan, keluarga, termasuk isu politik seperti perang, jihad dan damai. \
Ditengah keragaman bangsa, etnis suku, budaya dan ras. Lima rukun Islam ini menyediakan persatuan dasar atau inti iman beserta cara-cara beribadah, serta menjadi landasan penting bagi kesalingpengertian antar umat beragama. (Mubaedi, 23 November 2016)
JIKA KITA YAKIN SERATUS PERSEN
Sebelumnya, kita coba pikirkan. Kalau kita digigit seekor semut misalnya, apa yang akan kita lakukan? pasti dengan sengaja kita akan mengalahkan naluri kasih sayang kita, sehingga kita akan membunuh semut yang menggigit tadi. Ini merupakan hal kecil yang sering kita alami. Namun, dari hal kecil ini membuktikan bahwa kita belum mampu mengendalikan diri. Belum bisa sadar sepenuhnya, bahwa setiap kejadian atas kehendak Allah. Belum mampu menerima dengan lapang ujian-ujian kecil, seperti digigit semut. Bagaimana dengan ujian-ujian yang lain, apalagi jika ujian tersebut lebih besar, bagaimana?? (Baca Juga : Bersabarlah sampai Datang Kematian)
Akselerasa, yakni menselaraskan proses percepatan rasa dalam jiwa untuk bisa menerima segala apapun yang terjadi pada diri kita. Mempercepat proses pembelajaran dalam diri, untuk dapat melewati tahapan olah rasa, menyadari hakekat keberadaan kita, dan terus memacu agar nafs bergerak dari nafs al-amarah, nafs al-lawwamah menuju pada nafs al-muthmainah, jiwa yang tenang. Jiwa yakin akan setiap kehendak Allah, jiwa yang tidak lagi tergoda pada nafs hewani, kesenangan yang semu, dan ia sadar sepenuhnya, bahwa dirinya dan sekitarnya hanyalah milik Allah. Jika telah yakin bahwa sepenuhnya milik Allah, ketentraman jiwa akan menuntunnya untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.
Orang yang telah yakin seratus persen pada qudrah dan iradah Illahi, maka setiap cobaan dan ujian yang datang, akan ia hadapai dengan tenang. Rasa takut dan khawatir dalam dirinya, sudah tidak terpengaruh dalam perjalanan jiwanya.
Demikianlah artikel dari atmosferku.com tentang MENYIKAPI GEJOLAK NEGERI DENGAN ANGREM PAKARTI. Jika Anda menyukai dan bermanfaat untuk yang lain artikel ini, jangan lupa share yaa serta memberikan like, twit atau berkomentar di bawah ini sehingga bisa menjadi referensi bagi sahabat semua di jejaring sosial Anda. Terima kasih